Alasan Meninggalkan Indonesia (2)

30.03.2006.
Sidang kilat dilakukan dimana keputusan mengatakan bahwa sang anak harus berada bersama dengan sang istri selama pernikahan masih berlaku. Dengan surat pernyataan dari pengadilan, sang istri mendatangi kepolisian setempat untuk mengambil sang anak. Bersama dengan rombongan polisi, sang istri tiba di rumah sang mertua. Hah, jalan keluar masih belum semulus jalan tol. Kali ini rumah sang mertua kosong, hasil pertanyaan dari tetangga kanan kiri mengatakan bahwa keluarga sang mertua dan sang anak pergi pada malam hari. Kali ini resmi sudah, sang istri mengajukan pengaduan "penculikkan anak" ke kantor polisi, dengan polisi sendiri sebagai saksinya. Selama polisi melakukan pencarian, sang istri dan pengacara menghadap ke pengadilan dan mencoba mengajukan proses perceraian di negara asal sang suami.
Pihak pengadilan mengeluarkan surat yang menyatakan selama dalam proses perceraian, sang anak harus bersama dengan sang istri dan kedua belah pihak diharuskan menghadap ke pengadilan satu bulan kemudian. Sang pengacara menyarankan sang istri untuk kembali ke Indonesia dan membawa surat dari pengadilan. Kembali ke Indonesia, surat dari pengadilan negeri sudah tiba 2 hari setelah kepergian sang istri ke negara asal sang suami. Setelah menyebar pertanyaan ke seluruh teman untuk mendapatkan pengacara (di Indonesia tidak perlu mengetuk pintu satu persatu), sang istri mendapatkan pengacara perempuan yang terkenal. Dengan surat dari pengadilan negara asing, surat dari psikolog yang menyatakan bahwa tindakan sang istri untuk konsultasi ke psikolog merupakan tanda bahwa sang istri tahu benar akan kebutuhannya dan bukan lah tindakan ketidakstabilan mental, serta seluruh kesaksian yang menyatakan bahwa sang istri tidak menunjukkan ciri-ciri sebagai orang sakit jiwa.
Proses pengadilan yang panjang dan berbelit-belit dihadapi sang istri terutama untuk mendapatkan kembali sang anak. Sang istri menjadi tergugat yang didakwa, dari dakwaan sakit jiwa (yang gagal karena tidak terbukti), sang anak yang sakit jiwa (dengan bukti surat dari psikiater anak Indonesia tertanggal setelah kepergian sang anak, yang gagal juga!) sampai karena sang istri tidak mampu membiayai sang anak yang warga negara asing! Sementara hati sang istri nelangsa karena tidak mengetahui keberadaan sang anak, pihak kepolisian negara asal sang suami belum menemukan jejak, terakhir mereka mendapat kabar bahwa sang mertua dan sang anak berada di negara tetangga, lalu hilang lagi. Kembali ke pengadilan negeri akhirnya hak asuh jatuh ke tangan sang suami dengan alasan sang ayah lebih mampu membiayai. Keputusan pengadilan ini diputuskan oleh seorang hakim wanita! Tidak terima dengan keputusan, sang istri naik banding, mahkamah agung!
Cerita semakin seru Zev, karena mendadak sang suami menghilang! Sang istri mengajukan pengaduan penculikkan ke kepolisian Indonesia. Menulis surat ke kedutaan asing dan ke kantor pusat dimana sang suami bekerja, menanyakan keberadaan sang suami dan sang anak. Semuanya mengatakan tidak tahu. Hingga satu hari sang istri mendapat kabar dari pengacara di negara asal sang suami bahwa pihak kepolisian menemukan sang suami disana! Sang Istri terbang ke negara asing, menghadiri pengadilan yang mana sang suami berada disana dengan wajah geram, tetap mengatakan tidak tahu dimana sang anak, dan mungkin sedang berlibur dengan sang mertua lalu sang suami menunjukkan surat keputusan pengadilan Indonesia, memaksa sang istri mencabut tuduhan penculikkan, tetapi sang istri bersikeras, keputusan pengadilan belum berlaku karena masih ada pengadilan Mahkamah Agung! Sayangnya pengadilan negara asing tidak bisa mengeluarkan keputusan, terutama karena sang anak, sang suami dan sang istri berstatus penduduk Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia juga, jadi menilik dari segi hukum, keputusan pengadilan Indonesia yang berlaku, sementara pengadilan mahkamah agung belum menghasilkan keputusan, kasus dalam situasi mengambang seperti layang-layang tertiup angin. Sang istri sudah kehabisan air mata, tidak mampu menangis lagi. Sang istri terdiam, menghitung waktu, sejak sang anak pergi dari sisinya, sudah hampir satu tahun, habis dimakan proses pengadilan. Sang istri memutuskan kembali ke Indonesia.
Di Indonesia, pengadilan mahkamah agung belum juga selesai, sang istri lalu menyepi selama satu minggu, memohon petunjuk dan kekuatan kepada Tuhan. Keputusan pengadilan negeri tidak menuliskan satupun hak sang istri sebagai seorang ibu, maupun hak sang anak untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari kedua belah pihak orang tua, pengadilan mahkamah agung masih terombang-ambing sementara sang suami tidak berada di Indonesia lagi. Sang anak dan sang suami bukan warga negara Indonesia, dan keputusan hukum Indonesia tidak membantu sama sekali sang istri dan sang anak. Terutama sang anak, yang mana dicampakkan begitu saja, lahir di Indonesia sebagai warga negara asing, menjadi asing di hadapan ibu dan tempat kelahirannya.
Sang suami berada di negara asalnya, sedangkan sang anak juga di negara kewargaannya. Negaranya yang menurut undang-undang Indonesia yang berlaku. Hukum tidak terlalu memberikan pilihan kepada sang istri, akhirnya sang istri bertanya kepada pengacara asing, apakah mereka bisa membantu secara hukum? Tidak, selama sang anak, sang suami dan sang istri bukan penduduk setempat. Sekarang sang anak dan sang suami tidak di Indonesia, melainkan di negara asing, tinggal sang istri yang masih di Indonesia, jadi sudah bisa ditebak ke arah mana sang istri mencari keadilan? Yap, sang istri harus pindah dan tinggal di negara asing juga!
Sang istri menyiapkan keberangkatannya, semua dijual untuk bekal "perantauan", bahkan harta orang tua pun ikut terjual, pro dan kontra menyelimuti suasana, hanya orang tua dan sang nenek yang merestui kepergian sang istri, yang lainnya menyikapi dengan berbagai jenis ucapan, dari sopan sampai kasar, bahkan ada yang nyeletuk, mau jadi apa di negara asing, tidak kenal siapa-siapa, sendirian, mau bayar pakai apa kebutuhan-kebutuhan, mau jadi pelacur? Yang lebih seru, niat kepergian sang istri untuk tinggal di negara asing menjadi ajang taruhan. Hayoo, berapa lama sang istri akan tinggal di luar negeri? 3 bulan apa tiga minggu? Bah sudah habis urat emosi sang istri, anjing mengonggong, kafilah pun berlalu, setiap waktu yang diingat sang istri hanya,bagaimana wajah sang anak, bagaimana kabarnya?
Sang istri kembali terbang ke negara asing, status sebagai istri masih berlaku karena masih ada pengadilan mahkamah agung, untuk urusan visa, sang istri menyatakan pindah dari Indonesia ke negara asal sang suami, tanpa ada masalah karena perkawinan sudah terhitung lima tahun (3 tahun normal, 2 tahun abnormal) dan merupakan seorang IBU dari seorang anak berwarga negara ASING (setempat) sang istri mendapatkan status kependudukkan!
Bekerja serabutan setiap hari untuk membayar pengacara dan detektif akhirnya sang istri mendapatkan hasil, detektif menemukan sang anak. Wah sang istri sudah lupa bagaimana rasanya bahagia, tidak bisa dirangkai dengan kalimat, mungkin kalau bisa melukis, sudah menjadi lukisan Claude Monet pada musim semi!!!
Pertemuan dengan sang anak dilakukan resmi di Pengadilan setempat, sang suami, sang anak dan sang istri bertemu di gedung pengadilan yang indah dan yang bangunannya sudah berusia berabad-abad.
Sang istri melihat sang anak, sudah besar! Empat tahun umurnya kini. Sang istri berlari memeluk sang anak, tapi apa yang terjadi??? Sang anak menolak sang ibu dan berkata dengan marah, kenapa sang ibu meninggalkan sang anak? Apa salah sang anak? Kemana saja sang ibu selama ini?
Sang istri menangis, sang anak pun menangis marah dan berlari ke arah sang suami. Hakim yang menangani, seorang perempuan, terdiam seribu bahasa, larut dengan suasana yang kelabu. Pengadilan dimulai, hakim meminta untuk berbicara satu persatu dengan sang suami, sang anak dan sang istri. Saat giliran sang istri, hakim berkata bahwa sang istri mempunyai hak sama dengan sang suami dalam mengasuh sang anak, alasan dan motif bahwa sang suami jauh lebih mampu daripada sang istri diabaikan oleh hakim tetapi (aduh masih ada tetapinya Zev), sang anak selama dua tahun hidup jauh dari ibu, keseimbangan mental bagi seorang anak kecil sangatlah rawan, apalagi kelihatan ada kesalahpahaman antara sang anak terhadap ibu, dan juga dinilai dari segi hukum, keputusan Indonesia tetap yang berlaku, jadi hak asuh tetap dipegang sang suami, dengan syarat sang istri mempunyai hak yang sama untuk membesarkan sang anak, hak untuk berkunjung atau dikunjungi selama liburan.
Hakim menyarankan untuk memulai kembali hubungan ibu dan anak, serta mengembalikan kepercayaan sang anak terhadap ibu. Sang istri tertunduk kelu, harapan untuk tinggal bersama sang anak punah. Pengadilan Mahkamah Agung masih ada, tetapi sang suami sudah bukan penduduk Indonesia lagi, begitu pula sang anak. Sang istri menghubungi pihak keluarga di Indonesia, keuangan semakin menipis, pembayaran dua pengacara lokal dan asing, serta tiket pulang pergi berkali-kali memakan biaya yang sangat besar, dana sudah dibawah batas nol. Sang istri memutuskan untuk menarik kasus pengadilan banding, dan memulai hidup dari nol koma nol di negara asing.
*************
Sang ibu (keputusan cerai sudah resmi) memulai kehidupan dan membina hubungan dengan sang anak. Pertama kali sang anak berkunjung, sang ayah menunggu di depan pintu, dan waktu kunjungan hanya dua jam, sang ibupun protes melalui pengacara, akhirnya waktu kunjungan diperpanjang. Belum lama sang ibu tinggal di negara asing, sang ayah pindah ke negara lain! Kembali sang ibu protes, baru saja menjejakkan kaki di negara asing, sekarang harus pindah lagi, akhirnya sang ibu mencari pengacara lagi (untuk 2 negara) untuk memastikan bahwa hak berkunjung terhadap sang anak bisa dijalankan sesuai dengan hukum. Untuk mengunjungi sang anak, sang ibu terpaksa tinggal di hotel yang mana sangat tidak nyaman bagi sang anak untuk tidur di hotel. Sang anak protes agar sang ibu bisa menginap di rumah bersama sang anak, sang ayah keberatan karena sang ayah masih bersama WIL, akhirnya terjadi kesepakatan, sang anak yang mengunjungi sang ibu, anak lelaki berumur 4 tahun mengunjungi sang ibu dengan dengan pesawat sendirian. Hati sang ibu teriris saat kepulangan sang anak ke negara lain, kecil sendiri ditengah-tengah orang dewasa melewati pos imigrasi. Tetapi sang anak sudah bisa mengerti akan situasi, dan mulai mempercayai sang ibu.
Setiap sang anak datang berkunjung, sang ibu selalu mengingatkan bahwa sang ibu meninggalkan Indonesia untuk sang anak dan tidak pernah terlintas pikiran untuk menterbengkalaikan sang anak. Tetapi sang anak masih ketakutan saat sang ibu mengutarakan keinginan untuk mengunjungi keluarga di Indonesia, sang anak takut jika sang ibu pergi meninggalkan sang anak untuk selamanya, kata Indonesia bagi sang anak menjadi hantu yang bisa membawa pergi sang ibu. Akhirnya sang ibu memendam kerinduan terhadap keluarga di Indonesia. Waktu demi waktu berlalu, sang ibu terus meyakinkan sang anak bahwa Indonesia adalah tempat kelahiran sang ibu dan juga sang anak, setengah dari darah sang anak adalah Indonesia. Keluarga yang ada di Indonesia adalah keluarga sang anak juga, bahasa Indonesia adalah bahasa sang anak juga. Indonesia bukan untuk ditakuti, tetapi untuk disayangi, karena merupakan bagian dari sang anak. Biji yang ditanam oleh sang ibu mulai berakar di hati sang anak, akhirnya setelah bertahun-tahun tidak pulang, sang ibu pun bisa mengunjungi Indonesia kembali. Sang anak sudah jatuh cinta dengan Indonesia.
Sekarang sang anak sudah memasuki usia panca roba, pulang pergi naik pesawat mengunjungi sang ibu sudah seperti kereta api jabotabek, sang ibu pun bolak balik ke Indonesia, usaha sang ibu pun berkaitan 100% dengan Indonesia, bahkan sang anak sudah mahir akan sejarah dan budaya Indonesia karena setiap mengunjungi sang ibu semuanya berbau Indonesia. Hubungan sang ibu dan sang ayah menjadi baik. Sang ibu sudah bisa memaafkan sang ayah dan tidak menganggapnya sebagai musuh, kebencian sang ibu hilang, secara jujur sang ibu tidak bisa melupakan kejadian yang lalu, tetapi untuk kebaikan sang anak sang ibu belajar menghormati sang ayah karena merupakan bapak dari sang anak, hormat sang ibu terhadap sang ayah dikarenakan hormatnya sang ibu terhadap sang anak, komunikasi dengan sang ayah berjalan mulus dan tidak memerlukan pengacara lagi. Sang ibu sudah berkeluarga lagi dan sang anak mencintai keluarga baru sang ibu.
Sang ayah sudah tidak bersama dengan WIL, melainkan dengan wanita asing yang sangat baik terhadap sang anak. Hanya ada satu hal yang masih mengganjal sang ibu, sang anak belum mengunjungi Indonesia kembali sejak ia meninggalkan Indonesia saat berumur 2 tahun. Sang ayah masih ragu, entah takut entah apa, sang ibu tidak mau menduga-duga, lebih baik berpikiran positif, dan dengan pertolongan serta jaminan dari pihak keluarga suami sang ibu, sang ayah berjanji untuk mengijinkan sang anak ke Indonesia tahun ini. Doakan saja ya Zev, dan juga para pembaca, agar sang anak bisa menginjakkan kaki ke Indonesia tahun ini.
Untuk Tiara - Los Angeles, selama apa yang kita lakukan untuk kebahagiaan anak, halal di mata Tuhan, jangan pernah takut, Tuhan akan melindungi umatnya, dan juga saya berterima kasih atas doanya (dalam surat -sedihnya menjadi wanita Indonesia-), Tuhan telah menolong sang ibu yang malang.
Arita-CH
Previous
Next Post »